Becak yang aku tumpangi akhirnya sampai di depan rumah Leni. Dengan dibantu tongkat kruknya, Leni berjalan menyambutku.
“Sudah selesai mengepak barangmu, Len?” tanyaku.
Besok lusa Leni dan keluarganya akan pindah ke
“Belum. Aku masih menata buku-buku ke dalam kardus. Aku sendirian di rumah. Mamaku pegi ke rumah Bu RT dan papaku sedang ke
“Tenang, Len! Aku bantu, deh!” kataku penuh semangat.
“Terimakasih, Widya. Kamu memang temanku yang baik.”
“Len, setelah kamu tinggal di
“Tentu! Kita harus menjadi teman selamanya,” kata Leni menegaskan.
“Kalau begitu kita sering berkirim kabar lewat e-mail, ya! Kita,
“E … iya…” kata Leni dengan terbata-bata dan tersenyum masam.
Tiba-tiba, sebuah amplop melayang dan mendarat tepat di depan kakiku. Rupanya, amplop itu tadi terselip di antara buku yang sedang aku ambil dari rak.
“Len,
“Oh … ini
“Enak, ya, punya papa yang bekerja di biro pariwisata,” celetukku.
“Iya, Papa selalu mengirimi aku
“Sampai sebanyak ini?” tanyaku takjub.
“Bukan … sebagian
Tak terasa, kini sudah satu bulan Leni pindah ke
“Kok, kamu kelihatan sedih, Wid?” tanya Mama yang masuk ke kamarku.
“Widya kecewa sama Leni, Ma” ujarku hamper menangis. “Leni sama sekali tidak pernah membalas e-mail yang aku kirim,”kataku sesenggukan.
“Mungkin Leni belum sempat ke warnet,” Mama menenangkanku.
“Tapi keluarga Leni selalu berlangganan internet. Kenapa ya, Ma?” aku merasa khawatir.
“Atau mungkin Leni masih sibuk menyesuaikan diri di
Tiba-tiba, aku teringat pada surat-surat Leni yang tersimpan di dalamkotak sepatu.
“Ma, besok, tolong poskan
“Beres, anak manis. Kantor Mama,
Malamnya, aku menulis
Tiga hari kemudian, saat aku sedang menyiram bunga di halaman, “Widya, ada telepon buatmu!” terdengar teriakan Mama.
Aku berlari masuk ke dalam rumah dan menghampiri telepon di sudut ruang keluarga.
“Wid, terimakasih, ya, atas suratmu!” terdengar siuara Leni.
“Leni?! Aduh, Leni, kenapa kamu tidak pernah balas e-mail yang aku kirim?” tanyaku dengan agak kesal.
“Maafkan aku, Wid. Aku sakit tipus,” kata Leni memelas.
“ Ha… kapan?” aku tersentak kaget mendengarnya.
“Sejak seminggu yang lau. Sekarang sudah mendingan, kok.”
“Tapi, aku,
“A… ku …aku…,” Leni berusaha menceri alas an.
“Karena e-mail tidak ada perangkonya,
“Loo, kok, kamu tahu, Wid?” Leni tersentak kaget.
“Aku lihat semua amplop di dalam kotak sepatu itu sudah tidak ada perangkonya. Kamu diam-diam senang mengoleksi perangko,
“Iya, Wid. Aku memang suka koleksi perangko. Aku bisa dapat banyak pengetahuan dari perangko-perangko itu. Aku jadi tahu nama-nama bunga, binatang, pakaian adat, klub sepak bola dunia, tempat wisata, presiden, dan masih banyak lagi. Karena itu, Papa juga sering mengirimiku
“Uuuh … kenapa tidak ngomong dari dulu, Len. Bikin cemas orang saja,” kataku jengkel pada Leni. “Tahu begitu, setiap hari aku kirimi kamu
0 comments:
Posting Komentar