Mendengar kata penjara membuat sebagian orang bergidik ngeri. Namun, reaksi
itu berubah ketika kata Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) yang terlontar. Sebenarnya
penjara dan lapas sama saja, sebagai tempat tinggal para narapidana. Setelah berkunjung
ke Lapas Banyuwangi pada hari Jum’at (21/10), saya dan teman-teman mendapat
informasi lebih banyak mengenai Lapas Banyuwangi.
Bangunan lapas yang berlokasi di Jalan Letkol Istiqlal nomor 59 tampak
biasa saja dari luar. Untuk masuk, semua orang harus melewati sebuah pintu
besar peninggalan Belanda. Suasana di dalam lapas cukup nyaman. Kami
dikumpulkan dalam suatu ruangan kecil untuk mendengar sambutan-sambutan dan
pengarahan.
Lapas Banyuwangi termasuk golongan IIb, biasanya terdapat di
Kabupaten/Kota. Ironisnya, kapasitas Lapas IIb yang seharusnya diisi 260 narapidana, saat ini
dihuni oleh 987 napi. Namun situasi dan kondisi di Lapas Banyuwangi belakangan
ini lebih baik setelah didirikannya Pondok Pesantren At-Taubah. Para napi juga
diberi bekal-bekal keterampilan agar saat kembali ke masyarakat tidak susah
mencari kerja. Penyelenggaraan Lapas Idol, Duta Lapas serta pembentukan Kapok
Band menjadi nilai plus tersendiri. Sehingga, tak heran jika Lapas Banyuwangi
menjadi salah satu lapas percontohan.
Saat itu kami juga berbincang dengan Bapak Andah Wibisono, salah seorang narapidana
kasus narkoba. Beliau dulunya termasuk orang sukses, namun setelah berteman
dengan narkoba, seluruh kesuksesannya kandas. Ketika Pak Wibisono memohon
kepada kami agar jangan pernah bergaul dengan narkoba, suasana menjadi hening. Narkoba
adalah jalan tercepat menuju neraka. Sia-sialah hidup ini jika dari awal jalan
yang kita tempuh sudah salah.
Kemudian, kami diperbolehkan mengelilingin lapas. Di dalam lapas ada
beberapa blok yang dibatasi oleh kawat kasa raksasa. Di dalam blok ada
kamar-kamar tahanan untuk para napi. Blok untuk napi wanita dan pria dipisah. Blok
napi pria masih digolongkan lagi, berdasarkan kasus dan umur. Saya cukup
terenyuh saat melewati blok anak yang berisi narapidana dibawah 18 tahun.
Mereka yang seharusnya menimba ilmu dan pengalaman hidup, malah terisolir di dalam lapas. Meski kita diberikan makan tiga
kali sehari, tentunya atmosfer kehidupan bebas dan atmosfer di dalam lapas amat
jauh berbeda.
Akhirnya, durasi kunjungan kami berakhir. Ketika saya keluar dari pintu
raksasa, hawa yang terasa memang berbeda. Mungkin itulah yang dirasakan oleh
narapidana yang masa tahanannya telah berakhir. Mereka laksana burung yang
bebas dari sangkar dan siap untuk bercicit ria lagi.
Selamat Malam! Ann
0 comments:
Posting Komentar